Formulir Kontak

 

Sejarah Hadist Pada Awal Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Semua ulama dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan Hadis dalam berbagai  disiplin   Ilmu   dan   menjadi   rujukan   kedua   setelah   Al-Qur’an. Untuk memahami Hadis dengan baik kita perlu mengetahui Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadis agar kita dapat memahami sejauh mana pertumbuhan dan perkembangannya dari masa ke masa. Diantara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhandan perkembangan hadis. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu masa rasulullah Saw Sahabat dan Tabi’in. Sejarah dan Periodisasi penghimpunan Hadis mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu relatife pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. 

Penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis memerlukan waktu sekitar tiga abad.Yang dimaksud dengan Periodisasi penghimpunan Hadis disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadis, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini. Para Ulama dan ahli Hadis, secara bervariasi membagi periodisasi penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis tersebut berdasarkan perbedaan pengelompokan data sejarah yang mereka miliki serta tujuan yang hendak mereka capai. Penyusunan kitab Hadis atau penulisan Hadis di dalam sebuah kitab belum terjadi pada masa Rasul dan demikian juga belum ada pada masa Sahabat. Pada masa Rasul memang ada riwayat yang berasal dari Rasul Saw yang membolehkan untuk menuliskan Hadis, namun penulisan Hadis pada masa Rasul masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi dan tertentu pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan oleh Rasul untuk menulis­kannya.

Penulisan Hadis pada masa Rasul dan demikian juga pada masa Sahabat belumlah bersifat resmi. Para Sahabat di masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadis. Hal tersebut di antaranya karena adanya larangan Rasul dari menuliskan Hadis-hadis beliau. Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasul juga memberi peluang kepada para Sahabat untuk menuliskan Hadis-hadis beliau. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadis antara adanya larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadis. Apabila kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa lampau, ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus menunjukan arah masa depan.

Hadis adalah Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah Saw yang  merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadis disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadis pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadis pada masa prakodifikasi. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin. 


BAB II
PEMBAHASAN
A.Metode Nabi Muhammad dalam memyapaikan hadis kepada sahabat
Syeikh Muhammad at-Thahhan menjelaskan, dalam mengajar hadis, Nabi menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis. 

1.Metode Ucapan (Lisan)
Sebagai seorang guru seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar ‘Azimillah menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar dengan keseluruhan hadis yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.  Para Sahabat yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk Madinah, tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka dalam ilmu al-Qur’an dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadis.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an dan Hadis dilakukan Nabi dalam dua level besar: Pertama: Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu Nabi. Kedua: para Sahabat dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh dari Nabi kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat yang sering bertemu beliau. Kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai beliau wafat pada 11 H / 632 M.

2.Metode Tulisan
Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadis melalui media tulis. Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah, dan cara-cara ibadah lainya.

Dapat ditegaskan bahwa penyebaran hadis melalui media tulisan dilakukan oleh Rasul secara terencana dan terarah. Oleh karena itu, saya memahami larangan  Rasul untuk menulis hadis seperti laporan Abu Said al-Khudri, yang menyatakan Rasul bersabda: janganlah anda menulis (sesuatu)  dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”, sebagai larangan penulisan hadis yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an. 

3.peragaan praktis
Lebih terjaga dan terpeliharanya hadis Rasulullah SAW baik dengan hafalan maupun tulisan. Hadis menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada saat itu mulai banyak penghafal hadis yang wafat, umat Islam terpecah belah dalam sekte dan golongan, banyak para pemalsu hadis, sehingga untuk menjaga kemurnian dan keutuhan hadis, maka perlulah dibukukan. Hadis yang tersebar dalam hafalan para perawi dan dalam lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin memudahkan dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad, dan hal–hal lain yang berkaitan dengan hadis.

Mendorong dan memotifasi lahirnya karya – karya dalam bidang hadis. Dari sini banyak ulama yang menulis buku – buku dalam bidang hadis, baik berbentuk buku-buku matan, sharah, tahqiq, takhrij, tarikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar bagi umat. Sepanjang hidup Rasul Saw, terhitung sejak belaiu menerima wahyu; segala perilaku, ucapan, persetujuan dan peragaan praktisnya dianggap sebagai hadis. Rasul memperagakan cara wudhu, shalat, haji, dan lain-lain.

B. Cara sahabat memperoleh hadis dari Nabi Muhammad Saw
Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadis nabi muhammad Saw yaitu :

1.Mendatangi majelis taklim yang diadakan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw selalu memyediakan waktu waktu khusus untuk mengajarkan agama Islam kepada para sahabat. Para sahabat salalu berusaha untuk menghadiri majelis taklim tersebut meskipun mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apabila mereka berhalangan , maka mereka bergantian menghadiri majelis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya. Yang hadir memberi tahu informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak hadir.

2.Terkadang Rasulullah Saw sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu,kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada sahabat. Apabila para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa itu jumlahnya banyak, maka berita tentang peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun apabila yang hadir hanya sedikit, maka rasulullah memerintahkan mereka untuk memberitahukannya kepada sahabat lain yang tidak hadir.

3.Terkadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri sahabat , kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada rasululah dan Rasululah memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Seperti yang dialami Ali.r.a menyangkut masalah mazi. Dari Ali r.a, dia berkata, aku adalah orang yang sering keluar mazi, maku aku suruh Al-miqdad menanyakan masalah tersebut kepada Rasul Saw, maka Rasul Saw menjawab, bahwa padanya harus berwudhu. (H.R. Bukhari )

4.Para sahabat terkadang menyaksikan Rasulullah melakukan suatu perbuatan yang berkaiatan dengan tata cara pelaksanaan ibadah seperti shalat, zakat, puasa haji dsb.sahabat yang menyaksikan perbuatan trsebut kemudian menyampaikan kepada yang lainya atau generasi sesudahnya. 

C.Kehati-hatian sahabat meriwayatkan hadis
Masa sahabat dikenal dengan masa di mana periwayatan Hadis sangat sedikit. Terutama pada masa Abu Bakar dan Umar r.a.  Hal ini disebabkan karena kehati-hatian mereka dalam meriwayatkan Hadis Nabi Saw, khawatir akan terjadi kesalahan dan keluar dari sunah,  karena hadist merupakan sumber rujukan kedua dalam penetapan hukum setelah al Quran. Sahabat Umar r.a. pada masa itu terkenal sebagai orang yang tidak suka kepada orang yang meriwayatkan banyak Hadis, demikian juga para sahabat lainnya, sehingga mereka tidak meriwayatkan suatu Hadis melainkan benar-benar dibutuhkan dan memastikan bahwa itu bersumber dari Nabi Saw. Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan sebuah Hadis, sehingga dalam sebagian Hadis selalu disertakan dengan kata-kata hal ini menunjukkan bentuk kewaspadaan mereka dalam periwayatan Hadis. 

Sedikitnya periwayatan Hadis di masa sahabat bukan berarti mereka tidak memiliki Hadis Nabi Saw, melainkan mereka melakukan hal itu semata karena penjagaannya terhadap sunah serta demi kemaslahatan umat Islam. Diceritakan bahwa Abu Bakar dan Umar r.a. jika disodorkan kepada mereka suatu permasalahan, mereka mencari solusi dari al Quran, jika mereka mendapatkan hukumnya di dalam al Quran maka mereka menghukumi dengannya. Namun apabila mereka tidak menemukan di dalam al Quran mereka melihat kepada sunah Nabi (Hadis), apabila menemukan hukumnya di dalam Hadis, maka mereka menghukumi dengannya. Namun  jika mereka tidak mengetahuinya mereka bertanya kepada sahabat yang lain,  dengan berkata ‘apakah Nabi Saw pernah menghukumi perkara seperti ini?”, apabila tetap tidak menemukan petunjuk Nabi SAW pernah melalukan hal itu, mereka mengumpulkan para pembesar umat Islam kemudian bermusyawarah dengan mereka. 

Beberapa riwayat yang menggambarkan kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan Hadis, antara lain sebagaimana dikatakan oleh Al-hafidz al-Dzahabi;

1.Diriwayatkan seorang nenek datang kepada Abu Bakar r.a. meminta bagian harta waris, kemudian dia berkata: aku tidak mendapatkan bagianmu di dalam al Quran, dan aku tidak pula mendapati Nabi Saw menyebutkan hal itu, kemudian dia bertanya kepada sahabat yang lainnya, seraya Al-Mughiroh berdiri dan berkata: aku telah mendengar Rasulullah Saw memberinya seperenam (1/6), kemudian Abu Bakar berkata: apakah ada orang lain yang bersamamu? Kemudian Muhammad bin Maslamah juga mengakui (bersaksi) atas hal itu dan kemudian Abu Bakar pun memberikan harta kepada nenek tersebut.

2.Imam Bukhari  meriwayatkan dari Sa’id al-Khudri berkata: aku berada pada suatu majlis orang Ansar, tiba-tiba datang Abu Musa seperti sedang dalam keadaan takut, kemudian dia berkata: aku telah meminta izin kepada Umar r.a. tiga kali namun ia tidak mengizinkanku, kemudian aku kembali, kemudian Al-Khudri berkata: apa yang mencegahmu? Akupun menjawab: aku telah meminta izin tiga kali dan akupun tidak diizinkan kemudian aku kembali/ pulang. Bersabda Nabi Saw: apabila seseorang diantara kalian telah meminta izin namun tidak diizinkan baginya maka kembalilah”. Kemudian Umar berkata demi Allah datangkan atasnya bukti, kemudian ia berkata apakah ada di antara kalian yang mendengarnya dari Nabi Saw? Kemudian Ubai bin Ka’ab berkata: demi Allah tidaklah bersamamu melainkan seorang yang paling kecil dalam suatu kelompok, maka akulah yang terkecil, kemudian aku berdiri bersamanya seraya aku beritahukan kepada Umar r.a. bahwa Nabi Saw pernah mengatakan hal tersebut. Kemudian Umar r.a. berkata kepada Abu Musa: bukannya aku menyalahkanmu akan tetapi aku takut orang-orang akan berdusta atas nama Rasulullah Saw.

3.Dari Bisr bin Sa’id berkata: Utsman r.a. duduk kemudian berwudu, kemudian berkumur, dan ia memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya tiga kali, kemudian membasuh kepala dan kakinya tiga kali, lantas berkata: aku melihat Rasulullah Saw berwudu demikian, wahai hadirin, bukankah demikian? Mereka menjawab iya. Sesungguhnya ada dari salah seorang sahabat Nabi Saw saat itu bersamanya. Dari Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: apabila aku mendengar sebuah Hadis dari Rasulullah Saw, Allah memberiku manfaat darinya, dan apabila seseorang menceritakanku aku memintanya untuk bersumpah, jika ia bersumpah maka aku mempercayainya.

4.Dari Qotadah dari Hasan Al-Bisri bahwasannya Tsamroh bin Jundub dan ‘Imron bin Hashin saling menceritakan, kemudian Tsamroh menceritakan bahwa ia telah menghafal dari Nabi Saw  saktatain (dua ketenangan/diam sejenak): diam ketika takbir dan diam setelah selesai membaca “ghairil al maghdlu bi ‘alaihim walaa al dlalliin” Tsamrah menghafalnya namun ‘Imran mengingkarinya, kemudian mereka berdua menuliskan hal itu kepada Ubai bin Ka’ab di Madinah, maka jawaban Ubai bin Ka’ab atas tulisan itu adalah bahwa Tsamrah benar telah menghafalnya.

Dari beberapa riwayat di atas terlihat bahwa bagaimana para sahabat dalam menetapkan dan menguatkan sebuah Hadis, namun hal ini bukan berarti para sahabat mensyaratkan penerimaan sebuah Hadis harus diriwayatkan oleh dua perawi atau lebih, atau kesaksian orang banyak kepada seorang perawi, atau dengan memintanya untuk bersumpah, jika tidak demikian maka berita yang dibawa tidak diterima. Hal ini  dilakukan semata-mata untuk menjaga agar orang tidak mudah mengatakan sesuatu dan menisbatkannya kepada Nabi Saw. Ini merupakan bentuk kehati-hatian para sahabat dan bukan untuk menutup-nutupi ilmu yang dimiliki. Kendati demikian, sahabat adalah orang-orang terdekat Nabi Saw yang tetap selalu menjaga ajaran Islam dan hidup dengan cara sebagaimana yang telah Nabi ajarkan kepada mereka. 

D. Cara-cara pemelihara hadis pada masa Nabi
a. Memelihara Hafalan demi Kesinambungan Sunnah.
 Abu Nadhrah, seorang tabi’in, mengisahkan perbincangannya dengan Abu Sa’id. Ia minta Abu Sa’id menuliskan hadits-hadits Rasulullah Saw karena ia tidak mampu menghafal. Abu Sa’id menolak. Alasannya, hafalan adalah alat utama dalam menjaga sunnah Nabi dan jalan paling banyak digunakan para sahabat. Abu Nadhrah berkata, “Saya berkata kepada Abu Sa’id, ‘Tolong tuliskan hadits karena kami tidak bisa menghafal.’ Abu Sa’id menjawab, ‘Kami tidak menulisnya untuk kalian dan kami tidak menjadikannya sebagai mushaf. Ia menceritakannya dan kami menghafalnya. Pesannya, ‘Hafalkanlah dari kami seperti kami menghafalnya dari Nabi’.”. Senada dengan hal itu, Abu Musa al-Asy’ari berpesan, “Hafalkanlah dari kami sebagaimana kami menghafal sebelumnya. 

Terdapat banyak keterangan, khususnya tentang sahabat yang terkenal banyak menghafal hadits dan riwayat, seperti Abu Hurairah r.a. Said bin Abu Hasan berkata, “Tidak ada sahabat Nabi Saw yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW selain Abu Hurairah.” Pola kehidupan sahabat ini diwarisi oleh generasi tabi’in yang datang kemudian. Abu Sofyan menegaskan sikapnya untuk tidak menulis dan mengandalkan hafalan di luar kepala. Ia berkata, “Aku tidak menulis hadits dari Abu Hurairah, tetapi kami menghafalnya.” Demikianlah, para tabi’in terlatih menghafal hadits dan tidak beralih pada penulisan, kecuali dalam beberapa situasi. Khalid al-Hadza’ (141 H) berkata, “Aku tidak menulis sesuatu kecuali sebuah hadits yang panjang. Jika aku telah menghafalnya, aku lalu menghapusnya. 

Imam Adz-Dzahabi meringkas karakteristik ilmiah generasi pertama: “Sesungguhnya ilmu sahabat dan tabi’in itu ada dalam hati mereka (dihafal di luar kepala, pen.). Ini adalah gudang penyimpanan ilmu mereka,” ungkap Adz-Dzahabi. Abu Thalib al-Makki (381 H) menyebutkan, generasi pertama tabi’in tidak suka mencatat hadits. Mereka berkata, “Hafalkanlah seperti kami menghafal.” Inilah sikap mereka dalam menjaga sunnah. Seperti digambarkan Ibnu Hajar, “Sekelompok sahabat dan tabi’in tidak suka penulisan hadits dan lebih suka bila orang meriwayatkan dari mereka dengan cara menghafal, seperti cara yang dulu mereka gunakan. Namun, ketika perhatian berkurang dan para ulama khawatir hilangnya hadits, mereka lalu menulisnya.” Kalangan yang mengamati bangsa Arab masa jahiliah dan permulaan Islam tahu pasti bahwa mereka memiliki ingatan kuat. Mereka biasa pergi ke suuq al-adab (pasar sastra) dan membacakan syair dalam bentuk qashidah (kumpulan bait syair). Dengan sekali mendengar, mereka langsung menghafalnya.  

Berbagai keterangan ini menjelaskan bahwa menghafal adalah cara utama dalam menjaga sunnah, baik pada periode sahabat maupun tabi’in. Cara lainnya adalah menulis, seperti yang juga diawali pada masa Nabi Muhammad Saw.

Dengan kuatnya daya hafal para sahabat akan memberi jaminan kesinambungan sunnah untuk masa-masa yang akan datang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya kesinambungan sunah atau hadits sejak masa Nabi Muhammad Saw sebagai berikut :

1.Quwwat Al-Zakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadis-hadis dari Nabi Saw. Dan ketika mereka menyampaikan atau meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada sahabat-sahabat lain, mereka menyampaikan persis seperti yang didengar pada Rasulullah Saw.

2.Sangat hati-hati para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw. Hal ini mereka lakukan karena mereka khawatir, akan terajadi percampuran hadis dengan yang bukan hadis. Oleh karena itu maka ada para sahabat yang sangat sedikit menghafal hadis dan meriwayatkannya. Termasuk Umat Ibnu Al-Khattab. Dan juga para sahabat ketika menyampaikan dan melafalkan hadis-hadis tersebut penuh dengan kehati-hatian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengucapannya.

3.Para sahabat sangat hati-hati dalam menerima hadis dari seseorang, bahkan tidak sembarangan. Para sahabat menerima hadis dari siapapun, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang mendengar dari Nabi Saw, atau dari perawi lain di atasnya. Termasuk Abu Bakar salah seorang sahabat yang sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadis. 

b. Pemeliharaan dan Kepedulian Sahabat terhadap Sunnah
Di Masa kekhalifahan Khulafar-Rasyidin, periwayatan sangat sedikit dan agak lamban, terutama masa Abu Bakar dan Umar. Pada periode ini periwayatkan hadis-hadis dilakukan dengan sangat hati-hati, beliau tidak sembarangan menerima. Menerima hadis sebagaimana yang terjadi pada suatu hari, Abu Musa Al-‘Asyari mendatangi rumah Umar, setibanya di rumah Umar, beliau memberikan salam sebanyak tiga kali, Umar tidak menjawab sekalipun. Abu Musa pun tidak jadi masuk ke rumah Umar. Ketika melihat Abu Musa sudah tidak ada lagi, lalu Umar mengejarnya sampai ketemu dan bertanya pada Abu Musa, kenapa anda berbalik? Abu Musa menjawab, bahwa kata Rasulullah barang siapa mengucapkan salam sampai tiga kali tidak dijawab maka tidak dibenarkan masuk ke dalam rumah tersebut. Lalu Umar mengatakan, Saya belum percaya apa yang kamu sampaikan sebelum kamu menghadirkan seorang saksi, yang mau menjadi saksi apa yang kamu sampaikan.

Terhadap kasus tersebut dapat dipahami bahwa Umar tidak percaya apa yang disampaikan Abu Musa, bukan apa-apa, beliau menyuruh pada Abu Musa untuk menghadirkan saksi agar tidak sembarangan mengada-ada apa yang disampaikan oleh Nabi. Dan juga Umar Ibnu Khattab adalah termasuk orang yang paling menentang dan tidak suka terhadap orang-orang yang memperbanyak periwayatan hadis.

Dalam ketelitian meriwayatkan hadis tidak hanya Umar Ibnu Khattab, Abu Bakar, Usman Ibnu Affan pun termasuk sahabat yang sangat teliti dalam meriwayatkan hadis, bahkan ia pernah mengatakan dalam suatu khotbahnya agar para sahabat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak mendengar di masa Abu Bakar dan Umar. Begitu juga Ali Ibnu Abi Thalib yang tidak dengan mudah menerima hadis dari orang lain. Sejarah mencatat bahwa dimasa Khulafa ar-Rasyidin, khususnya masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis sangat sedikit dan lambat. Hal ini disebabkan kecendrungan mereka secara umum untuk menyedikitkan riwayat, disamping sikap ketelitian para sahabat dalam menerima hadis, bertujuan supaya terpelihara dari berbagai kekeliruan. 

Ketelitian dan kehati-hatian dalam menerima sebuah hadis tidak hanya terlihat pada para Khulafa ar-Rasyidin saja, akan tetapi hal ini juga terjadi pada sahabat-sahabat yang lain. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memelihara hadis diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang setelah itu, sebagaimana yang terjadi dikalangan para Tabi’in yang ada di Basrah, mereka selalu mengadakan konfirmasi dengan para sahabat yang ada di Madinah tentang keaslian hadis. Sekalipun hadis itu mereka terima dari para sahabat, karena para Tabi’in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran hadis tersebut dari sahabat yang lain.

Berbagai bukti perhatian para sahabat terhadap sunnah dapat dirinci sebagai berikut:
1.Semangat yang tinggi dalam mendengar hadits. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis Rasulullah Saw untuk mendengarkan sabda dan menyaksikan seluruh perbuatannya. Jika sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan hingga tidak bisa hadir, mereka datang bergantian. Targetnya, agar orang yang hadir bisa menyampaikan kepada yang tidak hadir.

2.Mereka tidak pernah jenuh mendengar hadits dari Rasulullah Saw lebih dari satu kali. Bahkan, sebagian sahabat berpendapat bahwa seseorang tidak boleh meriwayatkan hadits kecuali telah mendengarnya lebih dari tiga kali. Amir bin Abasah berkata, “Seandainya aku tidak mendengarnya dari Rasulullah Saw kecuali satu, dua, atau tiga kali, hingga tujuh kali, selamanya aku tidak akan menceritakannya. Namun, aku mendengarnya lebih dari jumlah itu.” Senada dengan itu, Abu Umamah juga berkata, “Kalau aku tidak mendengar dari Nabi Saw. kecuali hanya tujuh–Abu Said berkata, ‘kecuali tujuh kali’–aku tidak meriwayatkannya.”

3.Mereka sangat berhati-hati dalam mendengar dan menghafal hadits. Hal ini dalam rangka menjaga kemurnian dan orisinalitas riwayatnya, tanpa distorsi dan penyimpangan sekecil apa pun. Seolah-olah mereka selalu menaruh di depan mata peringatan Rasulullah Saw “Siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka. 

Khawatir jatuh dalam berbuat dusta terhadap Rasulullah Saw., membuat sahabat bersikap ekstra hati-hati dalam mendengar dan menerima hadits. Utsman bin Affan berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw. kecuali keinginanku untuk menjadi sahabat yang paling berhati-hati meriwayatkan dari beliau. Aku bersaksi bahwa aku mendengar beliau bersabda, ‘Siapa yang mengatakan dariku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka’. Ali r.a. juga mengungkapkan kekhawatirannya jika mendengar hadits secara tidaka semestinya, atau menghafalnya secara keliru sehingga salah dalam menyampaikan dan mengucapkan berita yang bersumber dari Rasulullah Saw., “Soal berita dari Rasulullah, lebih baik aku dilemparkan dari langit daripada mengatakan apa yang tidak beliau katakan,” papar Ali bin Abi Thalib r.a.Kenyataannya, tidak semua sahabat mendengar sabda dan melihat perbuatan Nabi Saw karena sebagian mereka sibuk dengan urusan pribadi dan kemaslahatan umat, hingga tidak sempat menghadiri majelis Rasulullah Saw.

Akibatnya, mereka terpaksa mendengar melalui rekannya. Walau demikian, dalam kondisi ini, mereka tetap bersikap ketat bahkan terhadap rekan mereka sendiri. Fakta ini dijelaskan Al-Bara’ bin Azib, “Tidak semua hadits kami dengar dari Rasulullah Saw. Orang yang menceritakan adalah para sahabat kami sementara kami sibuk memelihara unta. Sementara itu, para sahabat Nabi Saw meminta apa yang tidak langsung mereka dengar dari Rasulullah Saw lalu mereka dengar dari rekannya dan dari orang yang lebih hafal dari mereka. Mereka dikenal ketat terhadap orang yang mereka dengar.”

Dalam beberapa kondisi, sikap hati-hati ini mengakibatkan para sahabat menyuruh rekannya sendiri bersumpah di hadapan mereka Ali bin Abi Thalib r.a. melakukan hal ini jika ia mendengarkan nya lewat perantara orang lain dan tidak langsung dari Rasulullah Saw. Ini tidak berarti para sahabat mendustakan orang yang menyampaikan hadits pada mereka. Sama sekali tidak. Tidak ada satu pun bukti bahwa salah seorang sahabat r.a. meragukan kejujuran saudaranya, apalagi menuduhnya berdusta. Yang mereka khawatirkan adalah kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits, sehingga menyampaikan hadits dengan tidak semestinya.Jika dipahami sikap hati-hati dan perhatian para sahabat dalam menjaga sunnah, baik dalam hafalan dan periwayatan, kita dapat memahami beberapa sikap yang mereka ambil pada rekan dan saudara mereka sendiri. Misalnya, menyuruh bersumpah, meminta saksi, tawaqquf (berhenti dan tidak mengambil sikap) terhadap sebuah hadits, dan berbagai sikap keras lainnya dalam menerima riwayat. Hal ini didasari oleh beberapa hal sebagai berikut:

1.Rasa bertanggung jawab terhadap sunnah, agar diwariskan generasi berikutnya dengan benar. Hal ini tidak menunjukkan bahwa para sahabat meragukan kejujuran rekan-rekannya, apalagi menuduh mereka berdusta. Pasalnya, mereka adalah sebaik-baik umat yang diperuntukkan bagi manusia. Allah Swt sendiri telah memuji mereka di banyak tempat di dalam Al-Qur’an.

2.Perbedaan pendapat terjadi dalam memahami beberapa hadits dan simpulannya. Hal ini bisa terjadi jika makna sebuah hadits pernah dipraktikkan pada suatu masa dan setelah itu dihapus (naskh). Padahal, perawi hadits ini belum mendengar berita tentang penghapusan, sehingga ia masih terus mengamalkannya. Situasi lain adalah sifat tawaqquf (abstain) sebagian sahabat terhadap hadits yang belum mereka dengar, sampai mereka yakin bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah Saw. Setelah y akin, mereka tidak ragu menerima dan mengamalkannya, bahkan menyesal karena tidak mendengarnya secara langsung.

3.Berbagai keterangan menjelaskan bahwa menghafal adalah cara utama dalam menjaga sunnah, baik pada periode sahabat maupun tabi’in. Cara lainnya adalah menulis, seperti yang juga diawali pada masa Nabi Muhammad Saw. Dengan kuatnya daya hafal para sahabat akan memberi jaminan kesinambungan sunnah untuk masa-masa yang akan datang.

4.Ketelitian dan kehati-hatian dalam menerima sebuah hadis tidak hanya terlihat pada para Khulafa ar-Rasyidin, tetapi juga terjadi pada sahabat-sahabat yang lain. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memelihara hadis diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang setelah itu, sebagaimana yang terjadi di kalangan para Tabi’in yang ada di Basrah, mereka selalu mengadakan konfirmasi dengan para sahabat yang ada di Madinah tentang keaslian hadis. Sekalipun hadis itu mereka terima dari para sahabat, para Tabi’in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran hadis tersebut dari sahabat yang lain. 

PENUTUP
A.Kesimpulan
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah, dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadis  Nabi Saw, melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadis ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran. Hadis pada zaman nabi Muhammad Saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;

- para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang.
- karena adanya larangan menulis hadis nabi.
 Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
 Para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
 Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. 

Total comment

Author

Muhajir Abu Bakar

0   komentar

Cancel Reply